Udara Ambon manise agak ddingin ku rasakan. Sejak aku turun dari pesawat pukul 17.00 WIT, gerimis sudah mengguyur bandara Pattimura. Ku pandangi sekelilingku. Hm, tidak terlalu ramai dibanding bandara Soekarno Hatta. Sambil menunggu temanku, aku merapatkan jaketku agar terasa hangat.
Beberapa menit kemudian, seorang lelaki melambaikan tangan padaku. Tak terlalu susah untuk mengingatnya. Ialah rekanku selama aku di tugaskan di sini. Suryan Ohorella.
Aku segera berlari dan masuk ke Kijang milik Suryan.
”Beta sudah lama menunggu ose, Jur.”
“Terimakasih.” Aku hanya tersenyum. Maklum udara dingin membuatku malas bicara. Oto pun berjalan.
Ku alihkan pandanganku keluar.
Kota Ambon sangat indah, pikirku. Tak terasa sudah tiga bulan aku bertugas di sini, tepatnya di desa Popilo. Dan ini, kedatanganku yang kedua kalinya. Dalam transitku kali ini, bukan untuk meliput berita tentang peristiwa apa yang terjadi di Ambon, tapi melihat kehidupan masyarakat Ambon, yang bagiku cukup menarik. Oh ya, namaku Muhammad Jurnalis Akbar. Wartawan salah satu majalah ibukota Jakarta.
“Kita besok kemana, Jur ?”
“…………….”
“Jur…Jur..Ose melamun ?”
Aku terkejut. Tangan Suryan menepuk punggungku cukup keras.
“Eh, maaf sobat. Saya agak sedikit pusing”
Entah mengapa aku berbohong padanya. Takut ? Tidak juga. Malu ? bisa jadi. Dulu waktu aku pergi dengan Suryan ke Galela, aku ketahuan melamun. Tahu dia bilang apa ?
“Ha….ha…haa…Jur, Jur. Ose, jangan banyak melamun.” Dia tertawa,” Jangan terlalu rindu pada keluarga. Ose, susah berjuang mencari berita nanti .”
Ku ingat waktu itu, aku sangat malu padanya. Bagaimana tidak, kehidupan orang Ambon sangat keras. Secara tidak langsung mereka harus bisa menguasai lingkungan. Pernah suatu hari ku lihat, seorang nona menjual bagia. Kue sagu kering, makanan khas Ambon, dipinggir jalan. Bagia itu disusun rapi dan dibungkus plastik bening. Yang menarik, bukan pada bagianya, tapi pada anak kecil berumur sekitar lima tahunan yang menangis meronta-ronta disamping sang nona.
Karena penasaran, aku ajak Suryan mendekatinya. Belum sempat aku mendekat, ke dengar anak itu berteriak-teriak.
“Laparrr…….mama laparrr……!!!”
“Diam! Ose seng boleh menangis !”
“Tapi mamaaaa……, beta lapar ! Beta mau bagia !!!”
Sang mama tak bergeming. Wanita itu memukul anak itu. Aku tertegun. Inilah salah satu yang menarik. Lebih baik mereka tidak makan, daripada memakan barang yang bukan miliknya. Urusan jualan tidak boleh disamakan dengan urusan pribadi.
“Oh ya Sur…Kamu dulu bilang jangan terlalu rindu pada keluarga ?”
“Ya..memangnya ada apa ?”
“Menurutku, keluarga, adalah hidupku. Karena keluarga, aku memiliki harapan dan semangat.”
“Jadi ?”
“Jadi aku tidak setuju dengan pendapatmu “
“Haa ….haa…”
Entah apa maksudnya, Suryan tertawa. Yang pasti hatiku kini sudah tenang.
***
“Jur ! Bangun ! Katanya ose mau ke Halmahera pagi-pagi !”
Ha ! Pukul 06.00. Jadwal meleset. Aku tertidur terlalu malam, karena harus menyiapkan program kerja yang harus dilakukan di Halmahera, Tobelo dan Gang Sungi. Ku dengar di Gang Sungi sedang di adakan semacam pesta rakyat. Sementara di Halmahera dan Tobelo, aku ingin melihat secara langsung bagaimana masyarakatnya memegang prinsip pela gandong yang sangat terkenal itu. Karena terlalu semangat mengerjakannya hingga larut malam, akibatnya setelah sholat subuh, aku melanjutkan tidurku.
Di Halmahera dan Tobelo dihuni dua agama mayoritas yaitu Islam dan Kristen. Dan karena prinsip pela gandonglah mereka dapat hiidup berdampingan. Hm, aku tak sabar lagi ingin ke sana. Aku bergegas.
***
Beberapa menit sebelum berangkat …
“Jur, ose dengar lagu itu ?”
“Lagu ? Lagu mana, bung ?” aku bingung
“Lagu di TV itu ?” Suryan menunjuk Intel 4 Inci di sudut kamar asrama. Di situ terlihat seorang pria menyanyikan lagu asli Ambon.
“Goro Gorone …” bisikku
“Ya! Goro Gorone. Itu lagu kesukaan beta. Waktu kecil, beta seng dapat tidur kalau belum mama nyanyikan lagu itu.”
Raut wajah Suryan berubah dramatis. Bicaranya yang biasanya kocak, jadi serius.
“Ose tahu ? Katong di Ambon harus punya kebanggaan terhadap kebudayaan katong. Lagu Burung Tantina, Ole Sioh, Huhatee harus katong hafal. Biar, kalau katong pi ke daerah lain, katong punya sesuatu buat kenangan …”
“Suryan boleh aku minta catatan lagunya ….?”
“Boleh! Boleh! Beta senang ose minta lagu itu !” serunya bersemangat.
Mata Suryan berbinar-binar. Ah, tak pernah aku melihat orang di daerah ku memiliki kebanggaan terhadap nilai-nilai kebudayaan asli daerahnya. Apalagi budaya westernisasi sudah mempengaruhi generasi mudanya. Mencari orang yang mau melestarikan kebudayaan daerahnya, mungkin seribu satu. Aku sendiri belum tentu berbakat untuk hal itu, batinku.
“Sur ! Ayo kita berangkat !”
“Oke ! Beta ambil kunci oto sebentar “
“Eh Sur ! Bukannya nanti kita naik kole-kole ? Mana muat mobilmu ..”
“Ha..ha…Jur..Jur…kole-kole sekarang mencari ikan. Kita nanti naik arumbai !” Suryan menepuk-nepuk pundakku.
“Maklum orang baru..belum terlalu menguasai..he..he…, oh ya tasku, tunggu senbentar , Sur!”
Hm..tas ini jangan sampai tertinggal. Tas inilah partnerku. Di dalamnya ada buku saku, kamera, hp, handuk kecik, topi dan yang utama yaitu pulpen. Yap! Selesai !
“Oke! Ayo berangkat !’
Mobil pun melaju dengan kencang. Cukup untuk mengejar waktu. Ini sudah hari ketiga. Hari kelima, laporanku harus segera dikirimkan ke Jakarta karena deadline. Jadi, satu hari waktunya kerja keras. Hm, Jurnalis, Jurnalis !
Ah ! aku jadi ingat bunda. Dia sangat sulit merestuiku menjadi wartawan. Bahkan, orang serumah punya tugas untuk membujuk bunda agar aku diizinkan.
“Kamu tahu nak ? wartawan itu tantangannya berat, resikonya banyak, sibuk cari berita sampai ndak ingat kesehatan sendiri.” Dengan lembut bunda mengelus kepalaku.
“Tapi pahalanya juga besar, bun. Kita mencari kebenaran.”
“Iya ! Tapi nyawamu cuma satu, nak. Sibuk mencari kebenaran, eh dipukul orang. Pekerjaan lain juga banyak pahalanya..”
“Tapi, bun ……?”
“Pokoknya, bunda gak setuju. Titik.!!”
Titik! Berarti tidak ada lanjutan.
Kami hanya bisa diam menerima keputusan bunda. Maklum, bunda sudah jadi orang tua tunggal sejak ayah meninggal ketika aku berumur tiga tahun. Ayah meninggal dalam tugas ketika meliput perang di Bosnia. Ya! Ayahku juga seorang jurnalis.
Namun, itulah bunda. Melihat aku begitu mencintai pekerjaanku, akhirnya hatinya luluh juga, namun tetap dengan syarat yang begitu detail. Setelah bunda menyebutkan satu persatu syaratnya, dan kusetujui, aku pun mengajukan syarat pada bunda.
“Bun, Jur terima syaratnya, tapi Jur juga punya syarat…”
“Apa ?”
“Bunda selalu do’akan Jury a ? Tanpa do’a bunda, rasanya langkah ini begitu berat ….” Aku memohon dengan sangat.
Bunda tersenyum dan menganggukkan kepalanya, lalu kami saling berpelukan erat. Bun, engkau malaikatku yang senantiasa ada di dekatku meski kita jauh.
***
Kapal yang kamii tumpangi sudah merapat di dermaga. Lalu, kami melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Daerah Gang Sungi memang agak pedalaman. Kami melewati kusu-kusu yang lebat sekali. Setelah hhampir setengah jam, akhirnya sampai ke tujuan. Suara floit, kotobuang dan tifa terdengar mengalun-alun. Saat kami mendekat, sekelompok pria menghadang kami. Lima orang memegang kalewang dan sisanya memegang salawaku, sejenis tameng. Ku lihat, Suryan mendekati mereka dan berbicara dengan bahasa yang tak ku mengerti.
Cukup lama mereka berkompromi, sampai akhirnya kami pun dipersilahkan masuk. Puff !!
Suara music semakin kencang terdengar. Sudah banyak orang berkumpul di sini. Mereka menyaksikan tari cakalele dan tari perisai. Di antara penonton, ku lihat banyak beberapa wartawan asing.
“Ose, seng memotret mereka, Jur ?”
“Aku sedang mencari posisi yang bagus. Oh ya Sur, nanti aku mau mewawancarai pemuka adatnya ya ..”
“Oke, sobat !”
………
Setelah puas memotret, kami segera berkeliling di sekitar rumah adat Ambon, Baileo. Di dalamnya, ada beberapa meja yang penuh dengan beberapa makanan, ada bagia, pisang dan minuman khasnya yaitu sopi, semacam minuman keras.
“Ose mau sopi, Jur ?” Suryan mengerling padaku, “Tapi kalau nanti kau mabuk, beta seng tanggung jawab …ha…haa…”
“Aku tidak suka minuman sepperti itu.”
“Oke ! Ayo kita kkeluar. Eh, tunggu …!” ku lihat Suryan mengambil dua buah pisang Ambon.
“Beta lapar, Jur. Perjalanan kita cukup melelahkan “
Aku tersenyum melihatnya. Kasihan.
Suara hiruk pikuk menandakan pesta makin meriah. Aku agak pusing mendengarnya. Setelah foto-foto lengkap, wawncara sudah beres, aku segera mengajak Suryan pulang.
***
“Ose punya komentar apa tentang pesta tadi, Jur ?”
“Hm…menurutku pestanya cukup unik .”
Tak ada lagi kata yang cocok untuk mengomentari itu. Bagiku semua kebudayaan di Indonesia sangat unik dan menarik.
“Sekarang kita kemana, Jur ?”
“Refresing! Tempat wisata yang bagus di mana ?”
“Oke! Kita ke Taman Laut saja di pantai Florida. Mau ? Makanannya juga enak-enak lho ….” Suryan berpromosi.
“Lanjutkan !!”
Kami berdua tertawa. Lumayan untuk merenggangkan kembali otot-otot syaraf.
Hm…setelah Ambon, aku kemana lagi ya ?
Senin, 29 Maret 2010
Jurnalis
Diposting oleh FAKINANTI di 23.47.00
Langganan:
Posting Komentar (Atom)


0 komentar:
Posting Komentar